A. Perlwanan Pattimura Terhadap
Belanda(Maluku)
Penduduk Ambon-Lease memiliki
unsur kehidupan yang dibawa dan dipadukan dengan budayayang telah ada
oleh VOC yaitu sistem perkebunan cengkeh, sistem pemerintahan desa dan
sistem pendidikan desa. Sistem pemerintahan terjadi karena timbulnya
daerah pemukiman baru.Sistem
perkebunan cengkeh mengharuskan menjual cengkeh rakyat ke VOC dengan harga yangditetapkan
sepihak.
pengolahan tanah dibagi menjadi tanah pekebunan
cengkeh dan tanah pusaka warisan
keluarga untuk ditanami bahan pangan untuk keluarga yang menggarapnya.Ketiga
jenis sistem tersebut menyebabkan keresahan masyarakat Maluku karena :1.
Banyak terjadi korupsi.2. Adanya kewajiban membuat ikan asin
dan garam untuk kapal perang belanda.3. Pemuda negeri banyak yang dipaksa
menjadi serdadu di Jawa.4. Diberlakukan sirkulasi uang kertas di Ambon yang
didapat dari hasil penjualan cengkeh namununtuk membeli barang di toko pemerintah harus memakai uang logam.5.
Hukuman denda dibayar dari hasil penjualan cengkeh serta ditambah
biaya untuk kepentinganresiden.6. Penyerahan wajib leverantie bahan
bangunan.7.
Adanya pelayaran hongi yang menebar
penderitaan.Tanggal 14 mei 1817 rakyat maluku bersumpah untuk melawan
pemerintah dimulai denganmenyerang dan membongkar perahu milik belanda orombaai
pos yang hendak membawa kayu bahan bangunan.
Kemudian merebut benteng Duurstede oleh pasukan yang dipimpin
KapitenPattimura dan Thomas Matulesi. Pattimura kemudian menyerang pasukan yang
dipimpin beetjesuntuk merebut benteng Zeelandia, namun sebelum menyerang
zeelandia, Residen Uitenbroek diHaruku
melkukan hal berikut :
1. Memberi hadiah kepada
Kepala Desa.
2. Membentuk komisi
pendakatan Kepala-Kepala Desa di Haruku.
3.
Mendatangkan pasukan bala bantuan Inggris dengan Kapal Zwaluw.Karena adanya
bantuan Inggris, Kapten Pattimura terdesak masuk hutan dan
benteng-bentengnyadirebut kembali pemerintah.Rakyat nusa laut menyerah
tanggal 10 November 1817 setelah pimpinannya Kapiten PaulusTiahahu serta
putrinya Kristina Martha Tiahahu. Tanggal 12 November 1817 Kapitan
Pattimuraditangkap dan bersama tiga penglimanya dijatuhi hukuman mati
di Niuew Victoria di Ambon.
Perlawanan pasukan Pattimura pada tahun 1829 di Saparua merupakan
kelanjutan Perang Pattimura 1817.
Sebab musabab yang mendasari Perang Pattimura juga menjadi alasan bagi
pasukan Pattimura untuk
melakukan aksi. Semula mereka bersama Kapitan Pattimura telah minum sumpah
(angkat janji setia melalui tetesan darah yang diminum bersama) untuk berjuang mengusir penjajah
Belanda dari wilayahnya, di Bukit Saniri dalam suatu musyawarah besar. Janji setia kepada Kapitan yang mereka
kagumi dan ketaatan pada tanah tumpah darah yang melahirkan mereka, memberikan pilihan hidup atau
mati untuk perjuangannya. Mereka menyaksikan pemimpin-pemimpinnya mati digantung di depan benteng
Victoria oleh penguasa untuk menakut-nakuti rakyat, karena itu mereka akan lebih berhati-hati
dalam mengatur strategi. Organisasi pemerintahan negeri sesudah perang Pattimura tidak dapat
menampung dan menyalurkan aspirasi
rakyat karena telah diawasi secara ketat
melalui Stb. 1824. No. 19. a. tentang pemerintahan negeri. Satu satunya wadah yang dapat dijadikan sebagai
kendaraan untuk menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasi adalah organisasi tradisional
masyarakat yang disebut Kewang. Kewang adalah satu-satunya organisasi tradisional masyarakat yang
lepas dari pengamatan Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut Latukewano atau raja hutan, pengelola
disebut Sina Kewano dan para anggota disebut Ana Kewano atau anak Kewang.
Para Kewang (pemuda negeri anggota Kewang)
berhubungan secara rahasia antar sesama mereka dari berbagai negeri untuk saling menyampaikan
dan melengkapi informasi. Untuk itu mereka sering
mengadakan rapat di hutanhutan. Hasil
pertemuan dilaporkan kepada para serdadu Saparua yang berada di Ambon. Para serdadu ini mempunyai sikap
yang sama terhadap Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja mereka bernasib lebih baik karena tidak
dicurigai. Tatkala terdengar berita
bahwa mereka akan dikirim ke luar daerah (Ambon) untuk berperang di Jawa dan Sumatera mereka memutuskan bahwa itulah
saat yang tepat untuk menyerang Pemerintah Hindia Belanda.
Mereka tidak mau meninggalkan tanah tumpah
darah mereka dan dipisahkan dari keluarga. Karena itu mereka intensifkan komunikasi dengan para
Kewang dan sisa-sisa pasukan Pattimura yang berada di Saparua. Mereka menyurat dan menyampaikan
berita ini kepada pasukan Pattimura di Saparua yang dipimpin Izaak Pollatu, Marsma Sapulette
dan Tourissa Tamaela. Ketiga orang itu selain sebagai pemimpin kelompok yang telah siap melawan Belanda
juga adaiah kepala Kewang dari negeri-negeri Tuhaha, Ulath dan Porto di pulau Saparua. Rapat-rapat makin diintensifkan antara
lain di rumah Izaak Pollatu, kemudian di Marsma Sapulette. Mereka membahas surat dari serdadu di Ambon dan
sebagian lagi siap untuk menyerang Belanda di Saparua. Salah satu surat yang ditujukan untuk raja
Saparua jatuh ke tangan residen. Akhirnya
rahasia perlawanan bocor dan Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah-langkah pengamanan dan
menggagalkan usaha para Kewang yang telah bertahun-tahun mempersiapkan rencana itu. Perlawanan
pasukan Pattimura di Saparua tahun 1829 yang bekerjasama dengan serdadu Saparua di Ambon itu pun gagal.
Mereka ditangkap dan diajukan ke pengadilan negeri di Ambon. Pergolakan rakyat di daerah ini
berakhir di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar