Rabu, 15 Februari 2012

Perlawanan Rakyat Maluku Terhaap Belanda


A. Perlwanan Pattimura Terhadap Belanda(Maluku)
Penduduk Ambon-Lease memiliki unsur kehidupan yang dibawa dan dipadukan dengan budayayang telah ada oleh VOC yaitu sistem perkebunan cengkeh, sistem pemerintahan desa dan sistem pendidikan desa. Sistem pemerintahan terjadi karena timbulnya daerah pemukiman baru.Sistem perkebunan cengkeh mengharuskan menjual cengkeh rakyat ke VOC dengan harga yangditetapkan sepihak.
pengolahan tanah dibagi menjadi tanah pekebunan cengkeh dan tanah pusaka warisan keluarga untuk ditanami bahan pangan untuk keluarga yang menggarapnya.Ketiga jenis sistem tersebut menyebabkan keresahan masyarakat Maluku karena :1. Banyak terjadi korupsi.2. Adanya kewajiban membuat ikan asin dan garam untuk kapal perang belanda.3. Pemuda negeri banyak yang dipaksa menjadi serdadu di Jawa.4. Diberlakukan sirkulasi uang kertas di Ambon yang didapat dari hasil penjualan cengkeh namununtuk membeli barang di toko pemerintah harus memakai uang logam.5. Hukuman denda dibayar dari hasil penjualan cengkeh serta ditambah biaya untuk kepentinganresiden.6. Penyerahan wajib leverantie bahan bangunan.7.
 Adanya pelayaran hongi yang menebar penderitaan.Tanggal 14 mei 1817 rakyat maluku bersumpah untuk melawan pemerintah dimulai denganmenyerang dan membongkar perahu milik belanda orombaai pos yang hendak membawa kayu bahan bangunan. Kemudian merebut benteng Duurstede oleh pasukan yang dipimpin KapitenPattimura dan Thomas Matulesi. Pattimura kemudian menyerang pasukan yang dipimpin beetjesuntuk merebut benteng Zeelandia, namun sebelum menyerang zeelandia, Residen Uitenbroek diHaruku melkukan hal berikut :



1. Memberi hadiah kepada Kepala Desa.
2. Membentuk komisi pendakatan Kepala-Kepala Desa di Haruku.
3. Mendatangkan pasukan bala bantuan Inggris dengan Kapal Zwaluw.Karena adanya bantuan Inggris, Kapten Pattimura terdesak masuk hutan dan benteng-bentengnyadirebut kembali pemerintah.Rakyat nusa laut menyerah tanggal 10 November 1817 setelah pimpinannya Kapiten PaulusTiahahu serta putrinya Kristina Martha Tiahahu. Tanggal 12 November 1817 Kapitan Pattimuraditangkap dan bersama tiga penglimanya dijatuhi hukuman mati di Niuew Victoria di Ambon.
Perlawanan pasukan Pattimura pada tahun 1829 di Saparua merupakan kelanjutan Perang Pattimura 1817.
Sebab musabab yang mendasari Perang Pattimura juga menjadi alasan bagi pasukan Pattimura untuk
melakukan aksi. Semula mereka bersama Kapitan Pattimura telah minum sumpah (angkat janji setia melalui tetesan darah yang diminum bersama) untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari wilayahnya, di Bukit Saniri dalam suatu musyawarah besar. Janji setia kepada Kapitan yang mereka kagumi dan ketaatan pada tanah tumpah darah yang melahirkan mereka, memberikan pilihan hidup atau mati untuk perjuangannya. Mereka menyaksikan pemimpin-pemimpinnya mati digantung di depan benteng Victoria oleh penguasa untuk menakut-nakuti rakyat, karena itu mereka akan lebih berhati-hati dalam mengatur strategi. Organisasi pemerintahan negeri sesudah perang Pattimura tidak dapat menampung dan menyalurkan aspirasi
rakyat karena telah diawasi secara ketat melalui Stb. 1824. No. 19. a. tentang pemerintahan negeri. Satu satunya wadah yang dapat dijadikan sebagai kendaraan untuk menyatukan persepsi dan menyalurkan aspirasi adalah organisasi tradisional masyarakat yang disebut Kewang. Kewang adalah satu-satunya organisasi tradisional masyarakat yang lepas dari pengamatan Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut Latukewano atau raja hutan, pengelola disebut Sina Kewano dan para anggota disebut Ana Kewano atau anak Kewang.
Para Kewang (pemuda negeri anggota Kewang) berhubungan secara rahasia antar sesama mereka dari berbagai negeri untuk saling menyampaikan dan melengkapi informasi. Untuk itu mereka sering
mengadakan rapat di hutanhutan. Hasil pertemuan dilaporkan kepada para serdadu Saparua yang berada di Ambon. Para serdadu ini mempunyai sikap yang sama terhadap Pemerintah Hindia Belanda, hanya saja mereka bernasib lebih baik karena tidak dicurigai. Tatkala terdengar berita bahwa mereka akan dikirim ke luar daerah (Ambon) untuk berperang di Jawa dan Sumatera mereka memutuskan bahwa itulah saat yang tepat untuk menyerang Pemerintah Hindia Belanda.
Mereka tidak mau meninggalkan tanah tumpah darah mereka dan dipisahkan dari keluarga. Karena itu mereka intensifkan komunikasi dengan para Kewang dan sisa-sisa pasukan Pattimura yang berada di Saparua. Mereka menyurat dan menyampaikan berita ini kepada pasukan Pattimura di Saparua yang dipimpin Izaak Pollatu, Marsma Sapulette dan Tourissa Tamaela. Ketiga orang itu selain sebagai pemimpin kelompok yang telah siap melawan Belanda juga adaiah kepala Kewang dari negeri-negeri Tuhaha, Ulath dan Porto di pulau Saparua. Rapat-rapat makin diintensifkan antara lain di rumah Izaak Pollatu, kemudian di Marsma Sapulette. Mereka membahas surat dari serdadu di Ambon dan sebagian lagi siap untuk menyerang Belanda di Saparua. Salah satu surat yang ditujukan untuk raja
 Saparua jatuh ke tangan residen. Akhirnya rahasia perlawanan bocor dan Pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah-langkah pengamanan dan menggagalkan usaha para Kewang yang telah bertahun-tahun mempersiapkan rencana itu. Perlawanan pasukan Pattimura di Saparua tahun 1829 yang bekerjasama dengan serdadu Saparua di Ambon itu pun gagal. Mereka ditangkap dan diajukan ke pengadilan negeri di Ambon. Pergolakan rakyat di daerah ini berakhir di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar